Forestfund, Februari 2023 - Melinda Astari. Undang-Undang Nomor 11 tahun 2020 tentang Cipta Kerja atau Undang-undang Cipta Kerja (UUCK), disahkan pada tanggal 5 Oktober 2022 oleh DPR Republik Indonesia. Sejak berlakunya UU Nomor 11 tahun 2020, telah mengubah hal paling mendasar dalam pengelolaan sumber daya hutan. Dalam UUCK, Pemanfaatan hutan dan hasilnya hanya dapat diperoleh melalui perhutanan sosial dan perizinan berusaha, sehingga menghilangkan peran dan kewenangan KPH dalam swakelola pemanfaatan kawasan hutan yang belum berizin. Dengan Begitu, KPH hanya berfungsi sebagai administrasi atau fasilitator saja bukan sebagai pengelola hutan di tingkat tapak.
Sesuai amanat UU Nomor 41 tahun 1999 tentang Kehutanan dan PP Nomor 6 tahun 2007 tentang Tata Hutan dan Penyusunan Rencana Pengelolaan Hutan serta Pemanfaatan Hutan, Kesatuan Pengelolaan Hutan (KPH) merupakan unit terkecil pada tingkat tapak yang bertanggung jawab dalam melakukan pemantauan dan evaluasi atas kegiatan pengelolaan hutan. Dalam pengelolaan hutan, Pemerintah membaginya ke dalam tiga kawasan hutan, yaitu hutan lindung, hutan konservasi, dan hutan produksi. Kemudian kawasan-kawasan tersebut dibagi lagi ke dalam KPH, sehingga berdasarkan fungsinya KPH dibagi menjadi tiga, yaitu KPH Lindung, KPH Konservasi, dan KPH Produksi. dalam pengelolaan kawasan tersebut, dibentuk unit kerja yang dipimpin oleh seorang kepala yang setara dengan pejabat eselon III. Kesatuan Pengelolaan Hutan dibentuk pada masa pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono melalui Peraturan Pemerintah Nomor 6 tahun 2007 tentang Tata Hutan dan Penyusunan Rencana Pengelolaan Hutan, serta Pemanfaatan Hutan. Selain bertujuan mewujudkan kesejahteraan masyarakat serta menjaga hutan, pembentukan KPH ini juga diharapkan dapat mengakomodir tuntutan dan kepentingan pemerintah daerah.
Dari perspektif tata kelola, KPH berperan mengawal pengelolaan kawasan hutan agar tetap lestari. Beberapa fungsi KPH yang tertuang dalam peraturan, yaitu pelaksanaan tata hutan, penyusunan rencana pengelolaan hutan KPH, perlindungan dan konservasi sumber daya alam di wilayah KPH, serta melaksanakan kegiatan pengelolaan hutan mulai dari perencanaan, pengorganisasian, pelaksanaan, dan pengawasan serta pengendalian di wilayah KPH. Sehingga ketiadaan KPH dianggap berkaitan erat dengan perambahan hutan, penebangan liar, konflik tenurial hingga gagalnya rehabilitasi lahan kritis.
Jika melihat peran dan fungsi yang dimilikinya, KPH juga berperan dalam konteks implementasi Sistem Verifikasi Legalitas dan Kelestarian (SVLK). Namun hal tersebut tidak disebutkan secara eksplisit bahwa KPH memiliki kewenangan dalam pemantauan SVLK. Seperti di dalam UU 23 tahun 2014, KPH bertanggung jawab terhadap penyelenggaraan pengelolaan hutan dan kewenangannya untuk melakukan pengendalian dan pengawasan atas kegiatan pengelolaan hutan. Disamping itu, KPH juga berperan sebagai mitra kerja pemantauan dan sebagai sumber informasi bagi para pemantau independen.
Sebagai pengelola terkecil di tingkat tapak, keberadaan KPH menjadi hal penting di Indonesia. Ir. Madani Mukarom dari asosiasi KPH menyampaikan penurunan total organisasi KPH di daerah sebagai implikasi dari UUCK. hal tersebut terjadi karena KPH hanya berperan sebagai cost center. Menurunnya organisasi KPH juga akan menurunkan jumlah Sumber Daya Manusia (SDM) KPH dengan tugas yang terbatas untuk fasilitasi. Penurunan ini tentu akan berpengaruh terhadap pengelolaan hutan yang akan berdampak pada tata kelola kehutanan di Indonesia.
Dengan perubahan yang terjadi setelah pengesahan UUCK, secara logika ada beberapa implikasi yang akan terjadi di hutan Indonesia. Berdasarkan kajian yang dilakukan Agus Setyarso dalam Multi Stakeholder Forestry Programme (MFP) phase 4, ada 56,1 juta hektare hutan produksi yang dinaungi KPH. Sementara itu total area kerja pemegang perizinan berusaha pengelolaan hutan (PBPH) seluas 29,9 juta hektar. Artinya ada sekitar 26 juta hektare hutan produksi tanpa pemegang izin yang berada di wilayah KPH. Karena menghilangnya peran dan kewenangan KPH dalam swakelola pemanfaatan kawasan hutan yang belum berizin, luasan 26 juta hektare tersebut perlu dilakukan pengawasan dan pemantauan oleh Pemantau Independen (PI) maupun KPH.