Inisiatif Pelibatan KPH dalam Pemantauan Implementasi SVLK
Forestfund - Rabu, 8 Maret 2023 - Sistem Verifikasi Legalitas dan Kelestarian (SVLK) diimplementasikan di Indonesia sejak September 2010 setelah mendapatkan penetapan lewat Peraturan Menteri Kehutanan P.38/MENHUT-II/2009 tentang Standar dan Pedoman Penilaian Kinerja Pengelolaan Hutan Produksi Lestari dan Verifikasi Legalitas Kayu pada Pemegang Izin atau pada Hutan Hak. Saat itu, ‘K’ dalam SVLK merupakan singkatan dari ‘Kayu’, bukan ‘Kelestarian’ seperti saat ini. Sejak saat itu pula, SVLK menjadi mekanisme yang wajib ditempuh untuk memastikan keabsahan kayu dan produk kayu yang akan diperdagangkan.
Agar kredibilitas SVLK terjaga, Pemantau Independen (PI) harus terlibat aktif untuk melakukan fungsi check and balance. PI merupakan salah satu komponen dalam SVLK yang dimandatkan oleh peraturan perundang-undangan untuk menjalankan fungsi pemantauan pelaksanaan kinerja Pengelolaan Hutan Produksi Lestari (PHPL). Dalam P.38/2009 itu disebutkan PI adalah masyarakat madani baik perorangan atau lembaga yang berbadan hukum Indonesia.
Agar dapat terus menyesuaikan diri terhadap berbagai dinamika SVLK, PI dituntut untuk mengembangkan konsep dan metodologi pemantauan serta meluaskan ruang lingkup pemantauannya. Salah satu yang relevan adalah melalui pendekatan kewilayahan (yurisdiksi) seperti wilayah Kesatuan Pengelolaan Hutan.
Dalam Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan disebutkan KPH merupakan unit pengelolaan wilayah hutan terkecil yang dibagi sesuai jenis peruntukannya. Sebab itu, dikenal istilah kesatuan pengelolaan hutan lindung (KPHL), kesatuan pengelolaan hutan produksi (KPHP), kesatuan pengelolaan hutan konservasi (KPHK), dan sebagainya. Dari perspektif tata kelola, kehadiran KPH dapat dimaknai sebagai perpanjangan tangan negara di tingkat tapak.
Paska berlakunya Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja terdapat beberapa perubahan fungsi dan wewenang KPH. Namun, tak menghilangkan fungsi pengendalian dan pengawasan dari KPH. Sejak dibentuk hingga saat ini, kehadiran KPH sangat vital untuk mencegah deforestasi dan degradasi hutan akibat perambahan ilegal, mencegah konflik tenurial, hingga mengawal pelaksanaan rehabilitasi lahan kritis, dan vice versa.
Agus Setyarso dalam kajian Multistake Forestry Programme (MFP) phase 4 mencatat ada 56,1 juta hektare (ha) hutan produksi yang berada di bawah pembinaan 322 KPH. Sementara itu, jumlah Perizinan Berusaha Pemanfaatan Hutan (PBPH) baik hutan alam dan hutan tanaman adalah seluas 29,9 juta ha. Artinya ada sekitar 26 juta ha hutan produksi tanpa pemegang izin yang berada di bawah wilayah kelola KPH yang rawan mengalami deforestasi dan perambahan ilegal.
Dalam pengawasan penyelenggaraan SVLK di tingkat tapak, keberadaan KPH merupakan salah satu kunci. Dengan melibatkan KPH melalui pemantauan di wilayah yurisdiksinya, pengimplementasian SVLK dan upaya menjaga kredibilitasnya dapat dilaksanakan dengan optimal. Untuk memaksimalkan peran KPH tersebut, diperlukan sinergi dengan PI sebagai ujung tombak SVLK dalam melakukan check and balance.
Apabila sinergi itu hendak diimplementasikan, diperlukan pemutakhiran metode pemantauan SVLK sehingga relevan dengan kaidah keyurisdiksian KPH. Adapun pengembangan konsep pemantauan yang ditawarkan adalah pemantauan keabsahan legalitas kayu, keabsahan aktivitas pemanfaatan hasil hutan dan penatausahaan hasil hutan kayu oleh pemegang perizinan berusaha. Nota konsep yang ditujukan kepada PI dan KPH ini memberikan tambahan pengetahuan mengenai pemantauan SVLK dalam wilayah kelola KPH.