Forestfund, Februari 2023. Indonesia telah mengimplementasikan Sistem Verifikasi dan Legalitas Kayu (SVLK) untuk memastikan keterlacakan kayu dari sumbernya sejak tahun 2009. SVLK ditujukan sebagai sebuah instrumen dalam memberantas pembalakan liar dan peredaran kayu ilegal, serta meningkatkan pertumbuhan ekonomi melalui perdagangan kayu legal baik didalam maupun diluar negeri. Tidak dapat dipungkiri bahwa implementasi SVLK telah berdampak pada tata kelola hutan Indonesia yang lebih baik.
Namun melalui Peraturan Menteri Lingkungan Hidup Nomor 8 Tahun 2021 tentang Tata Hutan dan Penyusunan Rencana Pengelolaan Hutan, serta Pemanfaatan Hutan di Hutan Lindung dan Hutan Produksi, SVLK mengalami perubahan. Terminologi SVLK berganti dari 'Kayu' menjadi 'Kelestarian'. Peraturan yang diterbitkan 1 April 2021 itu juga tidak lagi hanya mengakomodir kayu saja, melainkan seluruh produk yang berasal dari hutan. Berdasarkan peraturan tersebut semua usaha komersial pemanfaatan hasil hutan kayu, hasil hutan bukan kayu, dan jasa hutan harus mengikuti sertifikasi standar yang mesti mengikuti pola SVLK.
Aturan yang merupakan produk turunan dari Undang-Undang Omnibus Law Cipta Kerja itu menekankan penggantian istilah perizinan berusaha pemanfaatan hutan (PBPH), yang sebelumnya dikenal dengan istilah izin usaha hasil pemanfaatan hutan kayu (IUPHHK). Pergantian istilah ini mengubah implementasi pengelolaan yang semula hanya kayu menjadi multiusaha dengan mengakomodir hasil hutan bukan kayu (HHBK).
HHBK dapat menjadi arus utama dalam pemanfaatan hutan di Indonesia sekaligus mendorong peningkatkan kesejahteraan masyarakat jika dikelola dengan baik. HHBK memiliki potensi yang sangat besar, dan memiliki peran signifikan terhadap peningkatan pendapatan rumah tangga masyarakat, peningkatan ekonomi lokal, dan kelestarian hutan itu sendiri dengan memaksimalkan manfaat dan potensi yang ada. Beberapa komoditi HHBK yang potensial dikembangkan antara lain Daun Kayu Putih, Kopi, Getah, Bambu, Jagung, Sereh Wangi, Rumput Gajah, Gula Aren, Gamal, Rotan, Aren, Cengkeh, Damar, Gaharu, Getah, Kulit Kayu, Kemenyan, Kemiri, Kenari, Madu, dan Sagu dan lain sebagainya
Akan tetapi seiring dengan berjalannya waktu dan demi menjaga kemurnian hasil kayu dan HHBK maka asal usulnya keduanya harus jelas dan sah secara hukum. Oleh karena itu perlunya pemahaman bagi masyarakat yang berada di sekitar hutan, areal hak atau izin, agar memahami proses dan tahapan untuk mendapatkan sertifikasi legalitas Kayu. Sehingga, hasil kayu dan HHBK dapat sah secara hukum untuk diperdagangkan dan dapat memenuhi indikator penilaian dari SVLK.
Indikator tersebut mulai dari aspek prasyarat, aspek produksi, aspek ekologi, aspek sosial, dan aspek ketenagakerjaan. Sebagaimana yang telah diatur dalam Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Nomor 8 tahun 2021, serta SK Dirjen PHPL Nomor SK.62/PHPL/SET.5/KUM.1/12/2020 yang berisi peraturan teknis mengenai tata cara pelaksanaan SVLK.
Pelaksanaan SVLK itu sendiri memerlukan pemantauan/pengawasan independen oleh Pemantau Independen (PI). Peran PI sangat penting untuk menjaga kredibiltas pelaksanaan sistem jaminan legalitas kayu di Indonesia. Keberadaan PI telah mengangkat pengakuan pasar terhadap pelaksanaan SVLK sebagai sistem yang bisa dipercaya dalam menjamin peredaran dan perdagangan kayu legal dari Indonesia.
Objek pemantauan Pemantau Independen sebelum Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan P.8/2020 adalah sebatas legalitas kayu. Saat ini Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan P.8/2021 memperkuat eksistensi Pemantau Independen dengan memperluas objek pemantauannya hingga, mencakup tidak hanya kayu namun termasuk juga HHBK. Perluasan cakupan objek pemantauan PI terjadi karena adanya perluasan fungsi SVLK sebagaimana yang telah disebutkan di atas. Dengan adanya peran PI dalam SVLK diharapkan menjadi pengendali dan pengawas independen untuk memastikan kredibilitas proses verifikasi legalitas hasil hutan baik kayu maupun non kayu (HHBK).