Dari EUTR Berganti Menjadi EUDDR

Forestfund, Februari 2023. Pada 6 Desember 2022, Parlemen Uni Eropa mengesahkan European Union Due Diligence Regulation (EUDDR) atau Peraturan Uji Tuntas. Aturan ini berisi kesepakatan antara Parlemen Eropa dan Dewan Peraturan Uni Eropa (UE) untuk memastikan komoditas yang beredar di pasar UE bebas dari deforestasi dan degradasi hutan. Peraturan EUDDR ini bakal menggantikan peraturan yang sudah ada sebelumnya yaitu European Union Timber Regulation (EUTR) yang sudah diberlakukan sejak 2013.

Jika aturan EUTR disusun untuk mencegah kayu ilegal beredar di Uni Eropa, EUDDR memiliki cakupan yang lebih luas lagi. Setidaknya ada sembilan komoditas yang diatur, yaitu hewan ternak, kakao, kopi, minyak sawit, kedelai, kayu, karet, arang, dan produk-produk kertas. Namun, Parlemen UE memberi catatan tidak menutup kemungkinan komoditas yang diatur itu akan bertambah, seperti hasil-hasil tambang.

Komisi UE merancang EUDDR pada November 2020, sebagai tindak lanjut dari riset yang menunjukkan pelaksanaan EUTR selama kurang lebih 7 tahun tidak maksimal mencegah deforestasi. Meski EUTR menjadi contoh aturan yang potensial bagi komoditas lain, namun dari sisi implementasi dan penegakan hukum masih dianggap lemah. Masih beredarnya kayu-kayu ilegal di negara-negara mediterania seperti Italia, Spanyol, dan Yunani menunjukkan lemahnya komitmen negara-negara UE mengimplementasikan EUTR.

Namun, Indonesia sebagai produsen atau pengekspor kayu sudah comply dengan EUTR, melalui lisensi FLEGT sejak tahun 2003, dan lewat perjanjian sukarela atau Voluntery Partnership Agreement (VPA) sejak tahun 2005, melalui Sistem Verifikasi Legalitas Kayu (sekarang Kelestarian). Bahkan, Indonesia menjadi satu-satunya negara yang mampu memenuhi standar EUTR. Sebab itu, wacana pemberlakuan EUDDR untuk menggantikan EUTR mendapatkan respons dari sejumlah organisasi sipil di Indonesia.

Salah satu hal yang disoroti oleh CSO ialah batasan waktu pengukuran deforestasi atau cut-off date, yang dinilai akan memberikan pengampunan bagi praktek deforestasi di periode sebelumnya. Batas pelaksanaan cut-off date pada draft EUDDR, berada pada 31 Desember 2020. Organisasi masyarakat sipil mengusulkan batas pengukurannya dimulai pada 31 Desember 2000. Harapannya, jika batas waktu pengukuran deforestasi dilakukan pada 31 Desember 2000, perusahaan yang melakukan deforestasi setelah tanggal itu tidak dapat masuk ke pasar UE.

Terlebih, dalam catatannya, UE menyadari area yang hilang akibat deforestasi dari 1990 hingga 2020 lebih besar dari total luas kontinen mereka. Dari luas itu, UE mengklaim bertanggung jawab atas 10% dari deforestasi tersebut. Dua pertiga di antaranya berasal dari konsumsi minyak sawit dan produk turunannya, dan kedelai masyarakat UE. Tetapi, parlemen tetap menyepakati pengukuran deforestasi dihitung sejak 31 Desember 2020.

Parlemen juga menetapkan definisi degradasi hutan yang lebih luas. Konversi hutan primer atau hutan yang beregenarasi secara alami menjadi hutan perkebunan atau lahan berhutan lainnya dikategorikan sebagai degradasi hutan. Termasuk konversi hutan primer menjadi hutan tanaman. Adapun masukan dari CSO Indonesia mengenai perlindungan terhadap hak asasi manusia dan hak-hak masyarakat adat diakomodir oleh parlemen.

Dengan berlakunya EUDDR, meski SVLK telah sesuai dengan kebijakan anti-deforestasi Uni Eropa sebelumnya, Indonesia tetap mesti berbenah. Pengimplementasian kebijakan anti-deforestasi terbaru ini merupakan momentum perbaikan tata kelola hutan di Indonesia. Sebab, masih ditemukan sejumlah pelanggaran yang menyebabkan deforestasi dan pelanggaran hak-hak masyarakat adat. Momentum perbaikan itu juga sejalan dengan komitmen Indonesia dalam penurunan emisi gas rumah kaca yang diproyeksikan melalui Forestry and Other Land Uses (FOLU) Net Sink 2030.